Saturday, 8 October 2016

PENANGANAN KECELAKAAN


a. Before ( pencegahan kecelakaan lalu lintas )
            Pada tahapan ini yang menjadi fokus pembahasan adalah fungsi kordinasi, karena salah satu faktor mendasar yang menghambat tercapainya tujuan dari suatu kebijakan lalu lintas adalah minimnya kordinasi lintas instansi maupun pihak-pihak terkait. Hal ini berdampak pada munculnya kepentingan tertentu dari setiap pihak yang seharusnya bekerjasama tetapi justru bertindak kontradiksi yang cenderung mengarah timbulnya konflik. Faktanya antara lain adanya selisih yang cukup jauh tentang data kecelakaan pada Polri dan data yang ada di Departemen Perhubungan sebagai sumber informasi data lalu lintas yang memiliki kewenangan resmi, kemudian munculnya kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada upaya untuk saling mendapatkan pengakuan sebagai yang terbaik tanpa adanya peran pihak lain, dan beberapa fakta lainnya hingga terjadinya perebutan kewenangan dalam rangka pengesahan RUU Lalu Lintas hingga bisa diterbitkan menjadi UU no 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 
Oleh karena itu kepolisian harus senantiasa berkordinasi dengan pihak-pihak yang terkait secara khusus tentang upaya pencegahan terjadinya kecelakaan lalu lintas untuk membuat suatu kesepakatan bersama baik bersifat formal maupun informal untuk melakukan pengkajian secara simultan terhadap karakteristik dari faktor penyebab suatu kejadian kecelakaan. Namun dalam pelaksanaanya kepentingan secara politis dari masing-masing instansi maupun non instansi yang terkait harus ditanggalkan, agar tercipta suatu konsep pencegahan yang berdasar pada harapan untuk mencegah terjadinya korban akibat kecelakaan lalu lintas dengan bentuk yang sesuai realitas. Fungsi dan kewenangan setiap pihak yang bertanggung jawab sudah diatur oleh negara baik dalam bentuk per undang-undangan maupun ketentuan-ketentuan lain dalam bentuk peraturan.
Sehingga yang perlu ditingkatkan dalam berkordinasi adalah pengaktifan fungsi masing-masing pihak terkait tanpa mengutamakan kepentingan pribadi dari individu yang berperan dalam instansi tersebut serta dapat menghasilkan suatu produk kebijakan yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat.
Berdasarkan faktor penyebab terjadinya kecelakaan maka unsur-unsur yang terlibat kordinasi dalam rangka upaya pencegahan lalu lintas adalah Polri, Departemen Perhubungan, Jasa Raharja, Departemen PU, Departemen Pendidikan Nasional, Pemprov atau Pemda setempat, LSM, Perusahaan Transportasi, tokoh masyarakat/tokoh adat/tokoh agama. Diharapkan dari pelaksanaan kordinasi yang baik dan efektif antar pihak-pihak tersebut dapat mengumpulkan berbagai data yang akurat sehingga dapat dijadikan sebagai dasar perumusan suatu kebijakan lalu lintas yang tepat sasaran serta pemenfaatan data-data tersebut sebagai suatu sistem informasi bagi masyarakat maupun pihak terkait.

b. During ( penerapan kebijakan penanggulangan kecelakaan lalu lintas )
Setelah terbentuknya suatu kesepakatan formal dalam bentuk kebijakan maka diperlukan konsep penerapan yang tepat sasaran, efektif dan efisien sesuai pola kerawanan kecelakaan lalu lintas yang telah diidentifikasi. Permasalahan dalam penerapan kebijakan lalu lintas sebagai upaya penanggulangan kecelakaan adalah perbedaan persepsi tentang pemahaman konsep kebijakan tersebut sehingga sering menyebabkan tumpang tindih dalam pelaksanaan kebijakan. Hal ini dipengaruhi oleh sistem manajemen yang tidak terkendali dengan baik.
Elemen – elemen dalam sistem kebijakan lalu lintas masih menyimpang dari sistem kebijakan dalam arti tidak mengaktifkan fungsi masing-masing sebagai pendukung utama siklus sistem yang telah disepakati bersama. Latar belakang terjadinya hal ini antara lain karena minimnya fungsi pengawasan dan pengendalian dari internal pihak-pihak terkait, kemudian kontinyuitas dari kordinasi tidak berlangsung secara efektif, serta minimnya latar belakang pengetahuan tentang konsep dasar lalu lintas.
Secara teori, konsep, dan regulasi tentang kebijakan kecelakaan lalu lintas selalu memiliki terobosan atau inovasi yang sangat baik, namun dalam penerapannya seringkali masih mengalami jalan buntu atau missing link, sehingga tidak dapat mencapai tujuan yang diharapkan secara maksimal. Oleh karena itu dalam penerapan kebijakan lalu lintas tentang kecelakaan diperlukan peningkatan sistem pengawasan dan pengendalian yang lebih ketat baik secara internal maupun pengawasan oleh pemerintah sebagai pusat kontrol dan kajian dalam pelaksanaan kegiatan. Kejelasan dalam pemberian reward dan punishment merupakan salah satu tolok ukur utama standarisasi keberhasilan.

c. After ( penanganan kecelakaan lalu lintas)
Konsep ideal pada tahapan ini adalah proses sesaat setelah terjadinya suatu kecelakaan lalu lintas yang membutuhkan penanganan secara cepat , tepat, dan efisien oleh komponen terkait yang bertanggungjawab secara langsung dan berkewajiban untuk bergerak secara simultan pada saat mendapatkan informasi tentang terjadinya kecelakaan. Beberapa komponen terkait dalam penanganan kecelakaan lalu intas adalah Polri sebagai penanggung jawab olah TKP, Rumah Sakit yang bertanggungjawab dalam upaya penanganan pertama (UGD) hingga proses perawatan, serta Jasa Raharja sebagai penanggung jawab asuransi kecelakaan sesuai klasifikasi korban. Namun  fakta yang terjadi di lapangan seringkali tidak menunjukkan hal yang diharapkan tersebut.
 Sedangkan apabila melihat perkembangan yang ada saat ini seiring dengan perkembangan teknologi yang ada, pemerintah melalui instansi yang terkait telah menyediakan fasilitas dan sarana prasarana dengan tingkat kecanggihan yang mengikuti trend kebutuhan masyarakat. Hal ini merupakan suatu fakta kontradiksi yang cukup ironis sehingga perlu adanya kajian tentang missing link dalam proses tersebut. Dari analisa yang dilakukan, beberapa kendala atau faktor penyebab terjadinya missing link dalam proses penanganan kecelakaan lalu lintas adalah minimnya sumber daya manusia dalam operasionalisasi kecanggihan fasilitas dan sarana prasarana yang ada , pemeliharaan dan perawatan barang yang tidak konsisten, serta konsep manajemen anggaran yang tidak berorientasi pada kebutuhan logistik.
 Salah satu contohnya saat ini Polri, Rumah sakit, dan Jasa Raharja sudah dilengkapi dengan kendaraan dinas penanganan kecelakaan lalu lintas yang menggunakan sistem jaringan satelit dan komputer, namun fakta kontradiksi yang sering dapat dilihat secara kasat mata dimana tidak sedikit dari kendaraan dinas tersebut yang hanya menjadi hiasan kantor di halaman parkir karena kondisi rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Dari beberapa fakta tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perlunya pelatihan-pelatihan yang berkelanjutan terhadap operator sistem yang ada, peningkatan anggaran pemeliharaan dan perawatan alat maupun kendaraan, serta melakukan audit rutin terhadap setiap instansi dalam penggunaan sistem anggarannya. Sehingga dalam penanganan kecelakaan lalu lintas sebagai penjabaran dari kebijakan yang telah ditetapkan dapat mencapai kualitas target pelayanan terhadap korban kecelakaan lalu lintas.

No comments:

Post a Comment